17 April 2011

Hakikat Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A.‎ LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi kkta ‎sedang berinteraksi aktif di dalamnya. Kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan ‎oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam proses menuju ‎kedewasaannya, setiap manusia melalui tahap pendidikan ini. ‎
Pada masa ini seringkali kita sebagai ummat Islam terkesima dengan ‎kemajuan peradaban dunia Barat. Tentunya jika sebuah peradaban suatu bangsa ‎sangat maju, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan yang mereka kembangkan ‎sangatlah maju pula. Padahal sebelum itu, pada abad ke-7 masehi ummat Islam ‎adalah rujukan pengetahuan bagi bangsa-bangsa di dunia. Namun masa keemasan ‎tersebut pun harus diakhiri dekan runtuhnya daulah Abbasiyah. ‎
Agama Islam merupakan agama yang sempurna, agama yang dibawa Nabi ‎Muammad ini diajarkan melalui mukjizat yang berupa teks al-Qur’an, al-Qur’an ‎merupakan teks rujukan dan pedoman bagi ummatnya dalam seluruh aspek ‎kehidupan termasuk pendidikan. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang ‎tidak menyebutkan makna secara “gamblang” dan jelas, penjelasan dari ayat tersebut ‎diperoleh melalui penjelasan Hadits Nabi yang kemudian disebut sebagai teks utama ‎setelah al-Qur’an. ‎
Sebenarnya agama Islam sangat mengutamakan proses pendidikan, hal ‎tersebut dapat dilihat dari lima ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi ‎Muhammad SAW dalam surat al-‘Alaq. Banyak juga hadits yang menjelaskan tetang ‎pentingnya pendidikan bagi manusia. Namun sebagai dua teks utama, ummat Islam ‎seringkali lupa akan ajaran-ajaran yang dijelasknnya. ‎
B.‎ RUMUSAN MASALAH
‎1.‎ Bagaimanakah fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam?‎
‎2.‎ Bagaimanakan hakikat pendidikan menurut al-Hadist?‎
BAB II
PEMBAHASAN
A.‎ FITRAH MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Agama Islam menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital, ‎lima ayat pertama yang diturunkan dalam surat al-‘Alaq bukanlah suatu ‎kebetulan. Ayat yang diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad tersebut ‎dimulai dengan membaca ‘iqra’ yang secara tidak langsung mengandung makna ‎dan implikasi pendidikan. ‎
Dalam sebuah hadist disebutkan:‎
عَنْ‎ ‎أبَيِ‎ ‎هُرَيرةَ‎ ‎رَضِيَ‎ ‎اللّهُ‎ ‎عَنهْ‎ ‎قَالَ قَالَ النَّبِىُّ  صلى الله عليه وسلم‎:‎‏ كُلُّ مَوْلُودٍ ‏يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ‏
Artinya: ‎
Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak lahir dalam ‎keadaan fiitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu beragama ‎Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)‎ 
Isyarat tentang pendidikan bagi manusia ini terjelaskan pada berbagai ‎muatan dan konsep ajarannya yang tersimpul dalam al-Qur`an dan hadis-hadis ‎Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah konsep tentang fitrah yang ‎terkandung pada hadis di atas. Hadis tentang fitrah tersebut demikian populer, ‎tidak hanya dalam pendidikan Islam tapi juga di tengah kalangan masyarakat ‎Islam dengan pemaknaan yang variatif.‎
Allah SWT menciptakan menusia telah dibekali dengan potensi pada ‎setiap individu, dengan potensi itulah seseorang dapat menjalankan kehidupan ‎dengan penuh ketaatan dan penghambaan kepada-Nya. Dalam hadits diatas, ‎Rasulullah memberikan informasi tentang potensi-potensi yang ditetapkan ‎kepada manusia, berupa fitrah. ‎
Fitrah sebagai potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir merupakan ‎pemahaman konseptual dari surat ar-Rum ayat 30:‎
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ ‏الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)‏
Artinya:‎
‎“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah ‎atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada ‎peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan ‎manusia tidak mengetahui”‎ 
Dalam  ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud ‎adalah “al-dinu al-Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga ‎dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa pendidikan ataupun ‎lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan faktor orang tua.‎
Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi ‎psikologis yang perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi ‎psokologis tersebut adalah:‎
‎1.‎ Beriman kepada Allah SWT
‎2.‎ Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk ‎untuk menerima pendidikan dan pengajaran
‎3.‎ Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud ‎daya fikir
‎4.‎ Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat
‎5.‎ Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat ‎dikembangkan dan dapat disempurnakan
Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh ‎manusia adakalanya:‎
Pertama, fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang ‎memberikan daya akal (Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan ‎potensi dasar manusia.‎
Kedua, fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri ‎manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan ‎sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.‎ 
Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri ‎manusi merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan ‎dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada ‎kesempurnaan dan kebenaran. ‎
Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat ‎mencetak manusia sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi ‎kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang mempunyai kecenderungan pada ‎keburukan dan kejahatan. ‎
Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-‎Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah),  sehingga dapat ‎mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar secara ‎kaamilah. ‎
Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan ‎perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah suatu ‎pendidikan mulai ditanamkan sejak dini. Dalam sebuah hadits disebutkan: ‎
عن ابن عباس أنهم قالوا: يَا رَسُولَ الله قَدْ عَلمْنَا حَقَّ الوَالِدِ عَلَي الْوَلَدِ، فَمَا حَقَ الوَلَدِ ‏عَلَي الوَالِد؟ قال: أَنْ يُحْسِنَ اْسمَه، ويحسن أدَبَه‎) ‎رواه البيهقي‎(‎

Artinya:‎
‎“Dari Ibn ‘Abbas, bahwa mereka (para sahabat)bertanya: Sungguh‎‏ ‏kami telah ‎mengethaui hak orang tua atas anak, lalu apa hak anak atas orang tua ? ‎Rasulullah SAW bersabda: Beri ia nama yang baik dan ajarkan perbaiki ‎adabnya.” (HR. Baihaqiy)‎ 
Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang ‎amat tepat dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan ‎inilah akan terbentuknya jiwa dan kepribadian yang baik. Dalam hadits lain ‎disebutkan: ‎
عن انس بن مَالِك عَنْ رَسُول الله صلي الله عليه وسلم قال أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُم وَأحسِنوُا ‏أدَبَهُمْ ‏‎)‎رواه إبن ماجه‎(‎
Artinya: ‎
‎“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-‎anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah)‎ 
Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan ‎akan pengaruh-pengaruh dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus ‎diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar dengan pendidikan kepribadian ‎‎(ahlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor yang sangat ‎berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan ‎dengan seorang anak. ‎
Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara ‎objektif disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada ‎Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan ‎agar orag tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa hal diantaranya ‎adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta ‎mengembangkan minat dan bakat.‎
B.‎ HAKEKAT PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan ‎transfer of culture serta transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya ‎untuk memanusiakan manusia. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan ‎adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan ‎bimbingan Al-Quran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia ‎berakhlakul karimah (insan kamil). ‎
Secara semantik, pendidikan menunjukkan pada suatu kegiatan atau ‎proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan seseorang kepada ‎orang lain. Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem, dan ‎metoda yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran.‎
Dalam term pendidikan Islam, sering  dijumpai kata dalam bahasa arab ‎tarbiyah  untuk menggantikan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia.  Selain ‎kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada ada ‎hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun.‎
Ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, ‎setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun secara kontekstual. ‎Oleh karena itu dibawah ini akan diuraikan secara singkat masing-masing term ‎pendidikan tersebut.‎
‎1.‎ at-Tarbiyah
Istilah at-Tarbiyah berasal dari kara rabb, yang berarti:‎
a.‎ bertambah dan berkembang (‎ربا - يربو – تربية‎)‎
b.‎ tumbuh dan berkembang (‎ربي - يربي - تربية‎ )‎
c.‎ memperbaiki, menguasai, memelihara, merawat, memperindah, mengatur, ‎dan menjaga kelestariannya (‎ربّ - يُربّ - تربية‎)‎
Dari pengertian tersebut, dalam konteks yang luas pengertian pendidikan ‎Islam terkandung dalam term al-Tarbiyah yang meliputi empat unsur, yaitu: ‎pertama, unsur memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa. ‎Kedua, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. Ketiga, ‎mengarahken seluruh fitrah menuju kesempurnaan. Dan keempat, melaksanakan ‎pendidikan secara lengkap.‎
Dalam al-Qur’an secara implisit memang tidak ditemukan penunjukan ‎kata at-tarbiyah, namun kata tersebut dapat ditelusuri pada istilah lain yang sekar ‎dengan kata at-tarbiyah, yaitu pada firman Allah: ‎
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)‏
Artinya:‎
‎“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan ‎dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana ‎mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".‎
Menurut fahr al-Razy, kata “Rabbayani” merupakan pendidikan dalam ‎bentuk luas, term tersebut tidak hanya menunjukkan pada makna pendidikan ‎yang bersifat ucapan (domain kognitif0, tapi juga meliputi pendidikan pada ‎aspek tingkah laku (domain afektif).‎ 
Jadi istilah at-Tarbiyah memberikan pengertian mencakup semua aspek ‎pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tidak hanya ‎mencakup aspek jasmaniah tetapi juga mencakup aspek rohaniah secara ‎harmonis. ‎
‎2.‎ al-Ta’lim
Kata yang kedua ini bersumber dari kata ‘allama yang berarti pengajaran ‎yang bersifat pemberian, atau penyampaian, pengertian, pengetahuan, dan ‎keterampilan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:‎
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ ‏إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١)‏
Artinya:‎
‎“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) ‎seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu ‎berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu ‎mamang benar orang-orang yang benar!"‎
Bila dilihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari kata ta’lim ‎‎(allama) pada ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang terlalu sempit. ‎Pengertiannya hanya sebatas proses pentranferan seperangkat ilmu pengetahuan ‎atau nilai antara manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai ilmu atau nilai yang ‎ditranfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada ‎domain afektif. ‎
‎3.‎ al-Ta’dib
Secara bahasa, kata al-ta’dib merupakan masdar dari kata “addaba” yang ‎berarti:‎
a.‎ Ta’dib, berasal dari kata dasar “aduba – ya’dubu yang bererti ‎melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan ‎santun.‎
b.‎ Berasal dari kata “adaba – ya’dibu” yang berarti mengadakan pesta ‎atau perjamuan yang berbuat dan berperilaku sopan.‎
c.‎ Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja “ta’dib” mengandung ‎pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin da member ‎tindakan.‎ 
Dalam hadist Nabi disebutkan:‎
أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأدِيْبِي. (رواه العكسري عن علي‎(‎
Artinya:‎
‎“Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku” ( HR. ‎al-Aksary dari Ali Ra)‎
Dari pengertian dan hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata ‎‎“ta’dib” mengandung pengertian usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi ‎sedemikian rupa, sehingga anak didik terdorong dan tergerak jiwa dan jiwanya ‎untuk berperilaku dan bersifat sopan santun yang baik sesuai dengan yang ‎diharapkan.‎ ‎ Orientasi kata al-ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan ‎pribadi muslim yang berakhlak mulia. Dalam hadits disebutkan: ‎
عن عا ئشة سُأِلَتْ عَنْ أَخْلاَقِ رَسُولِ الله صلعم قَالَتْ كَانَ خلُوقُه القُرْأن
Artinya: ‎
‎“Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, maka dia menjawab akhlak ‎Rasulullah SAW adalah al-Qur’an”‎ 
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolute dan utuh, didalamnya ‎mencakup perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan ‎ummat manusia dan merupakan sumber pendidikan yang terlengkap. Ia ‎merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam. ‎
Oleh sebab itu Rasulullah SAW memberikan contoh dan suri tauladan ‎berdasarkan al-Qur’an diantaranya melalui: pertama, ucapan (hadits quliyah) , ‎kedua, perbuatan (hadits fi’liyat), dan ketiga ketetapan (hadits taqririyah). ‎
Dalam dataran pendidikan Islam, sunnah Nabi mempunyai dua fungsi ‎yaitu: ‎
‎1.‎ Menjelaskan system pendidikan Islam yang tepat di dalamnya.‎
‎2.‎ Menyimpulkan metode pendidikan dan kehidupan Rasulullah SAW ‎bersama sahabat, perlakuanya kepada anak-anak, dan pendidikan ‎keimanan yang pernah dilakukan. ‎
Kesemuanya tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara Nabi melakukan ‎proses belajar mengaja, metode yang digunakan sehingga dengan cepat para ‎sahabat mampu menyerap apa yang diajarkan, dan lain sebaginya yang ‎kesemuanya terpancar dari satu figur uswah hasanah yang dibimbing langsung ‎oleh Allah.‎

BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa:‎
‎1.‎ fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusia merupakan potensi-potensi ‎dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima ‎rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran. ‎Agama Islam menganggap bahwa manusia dilahirkan dengan membawa potensi-‎potensi yang harus dikembangkan ke arah yang benar.‎
‎2.‎ Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai ‎Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Quran dan as-Sunnah ‎‎(Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil). ‎Pendidikan sering diterjemahkan dalam tiga istilah yaitu kata tarbiyah  untuk ‎menggantikan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia.  Selain kata tarbiyah ‎terdapat pula kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada hubungannya dengan ‎kata adab yang berarti sopan santun.‎

DAFTAR PUSTAKA

Abū ‘Abd Allah Ibn Muhammad ibn Yazīd Ibn Mājah, 2004, Sunan IbnMājah, Juz IV, ‎Beirut: Dar al-Fikr
Abū ‘Abd Allah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhāriy, 2006,  Al-Jāmi’ Shahīh al-‎Bukhāriy, Juz I, Beirut: Dār al-Fikri,‎
Abu Hamid al-Ghazaly, t.t, Ihya’ ulumudin, juz 3, Maktabah as-Syamilah
Arifuddin Arif, 2008, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kultura
Baihaqiy, t.t, Syu’bat al-Iman, Juz XVIII, dalam Maktabah as-Syamilah
Depag RI, 2007,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Hikmah, Bandung: CV Penerbit ‎Diponegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar