15 Februari 2011

Perlunya Dukungan

 
Sebagai mahluk social kita tidak bisa lepas dari bantuan orang lain terutama orang - orang yang sangat mencintai kita seperti keluarga,saudara terutama orang tua kita..dalam menetukan suatu pilihan hidup kita tidak bisa lepas dari mereka..memank sih dalam menentukan segala hal kita mempunyai hak penuh untuk menentukan jalan hidup kita sendiri tapi dibalik itu semua kita harus mempunyai suatu dukungan penuh dari orang - orang yang mencintai kita karna itu merupakan sebuah motivasi atau sebuah semangat untuk kita melangkah....

dan saya penah mengalami sesuatu pengalaman hidup,,dikala itu saya mengambil suatu keputusan yang kurang dukungan  penuh dari orang-orang yang mencintai kita,,,waktu itu saya berfiikir bahwa saya yang akan menjalaninya oleh sebab itu saya terus berjalan meskipun tidak ada dukungan sepenuhnya...

setelah beberapa saat aku jalani ternyata saya mulai tergoyah,tidak ada semangat,butuh motivasi,butuh dorongan..dan saya mulai sadar bahwa dalam melakukan segala sesuatu itu harus mempunyai dukungan penuh dari orang - orang dekat kita terutama keluarga saudara dan sahabat...meskipun kita sudah menerapkan suatu manjemen yang bagus atau teroganisir itu tidak artinya,,,hakikat kita adalah sebagai mahluk social yang tak bisa lepas dari orang lain terutama orang-orang terdekat kita... manajemen yang teroganisir itu akan goyah ketika  tidak ada penyanggahnya dan lam-kelamaan akn terjatuh juga karna btidak penguat dari bawah yang menahannya.......

[Read More...] - Perlunya Dukungan

Hidup ini penuh dengan rintangan dan perjuangan

 seiring dengan perjalanan hidup,,sering kali kita dihadapkan pada suatu masalah dan hal ini kita harus bisa memilah dan memilih untuk menuju masa depan kita....

Hidup ini terurai menjadi rangkaian detik-detik.
Dan di tiap detiknya, manusia selalu dihadapkan pada beragam pilihan.
Ada orang yang memutuskan apa yang terbaik buat dirinya di suatu detik, namun ia menyesal setelah di detik berikutnya ternyata ia temukan apa yang menjadi impiannya.

Ada pula orang yang cukup bersabar menunda kebahagiaan di suatu detik, karena ia merasa yakin bahwa penderitaan di detik itu akan terlunasi dengan perwujudan impiannya di detik berikutnya.

 Dan, sebagian lagi adalah orang-orang yang sangat berani, melepaskan atau mengorbankan bahagia yang sedang direngkuhnya di suatu detik, demi menyongsong harapannya yang lebih cerah, yang ia sangat yakini akan diperoleh di detik-detik berikutnya.

Di detik sebelah manakah kita kini?
Dan termasuk manusia manakah kita dalam menghirup setiap detik yang ada? Dalam setiap keberanian membuat pilihan? Hingga kelak tak ada lagi detik yang tersisa di ujung perjalanan kehidupan?

 

[Read More...] - Hidup ini penuh dengan rintangan dan perjuangan

14 Februari 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH PADA MASA (KHULAFA RASYIDIN)

Khulafaur Rasyidin adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebutkan empat orang pimpinan tertinggi umat Islam yang berturut-turut menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara,yaitu Abu Bakar (w. 13 H), Umar bin Khattab (w. 23 H),Usman bin Affan (w. 35 H)dan Ali bin Abi Thalib (w. 40H). Sebutan tersebut diberikan-kepada mereka, selainberhubungan dengan sifat rasyad atau rusyud yang diangap selalu menyertai tindakan dan kebijakan yangmereka lakukan juga dengan ungkapan yang tersebut didalam hadis Nabi Saw.

1) Abu Bakar Ash-Shiddiiq

Beliau adalah ahli hokum yang tinggi mutunya.ia memerintah dari tahun 632 sampai 634M.dan sebelum masuk islam beliau terkenal sebagai orang yang jujur dan di segani.banyak tindakannya yang perlu dicatat dalam sejarah namun yang penting dalam hal ini,pidato pelantikannya yang antara lain berbunyi sebagai berikut: “aku telah kalian pilih sebagai kholifah,kepala Negara,tetepi aku bukanlah yang terbaik diantara kita sekalian.karna itu jika aku malakukan sesuatu yang benar ikuti dan bantulah aku,tetapi jika aku melakukan kesalahan,perbaikilah,sebab menurut pendapatku,menyatakan yang benar adalah amanat,membohongi rakyat adalah penghianatan”selanjutnya beliau berkata. “ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah allah dan rosulnya.jika aku tidak mengikuti perintah allah dan rosulnya,kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.Pada masa ini disebut masa penetepan tiang-tiang (da’aa’im).dengan memerangi orang-orang yang murtad mutanabbi dan pembangkang penyerahan zakat. Di masa ini pula dikumpulkan Al-Qur’an pada satu mushaf.

2) Umar Ibn Khatab

Setelah abu bakar meninggal dunia,umar menggantikan kedudukannya sebagai kholifah ke-2.pemerintahan umar bin khattab berlangsung dari tahum 634 sampai tahun 644M.Pada masa ini telah bisa menyusun administrasi pemerintahan menetapkan pajak.kharaj atas tanah subur yang dimiliki oleh orang non muslim,menetapkan peradilan,perkantoran,dan kalender penanggalan.
Umar dikenal sebagai imamul-mujtahidin. Di masanya beliau berijtihad.antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk memotongnya dan tidak memberi zakat kepada al-muallafatu quluubuhum,karena tidak ada ‘illah untuk memberinya.

3)UtsmanIbnAffan

Pemrintahan ustman bin affan ini berlangsung dari tahun 644 sampai tahun 656M.dimasa pemerintahannya perluasan daerah islam diteruskan ,kebarat sampai ke maroko,ketimur menuju india dan keutara bergerak kea rah konstantinopel.Pada zamanya telah diperintahkan Zaid Ibn Tsabit dan Abdullah Ibn Zubair. Sa’iid Ibn Al-Ash dan Abdurrahman Bin Harits untuk mengumpulkan Al-Qur’an dengan qiraah (dialek) yang satu dengan mushaf satu macam pula pada tahun 30 H./650M.

4) Ali bin Abi Thalib

Setelah Ustman meninggal dunia,orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi Tholib menjadi khalifah ke-4,ia memerintah dari tahun 656 sampai tahun 662M.Semasa pemerintahannya ali tidak banyak dapat berbuat untuk mengembangkan hokum islam,karena keadaan Negara tiadak stabil,disana-sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat islam yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok,diantaranya dua kelompok besar umat islam sekarang ini,yakni ahlus sunnah waljamaah(sunni),dan syi’ah pengikut ali bin abi thalib.
Dengan wafatnya Sayyidina Ali, berakhirlah masa Khulafa’ur-Rasyidin dalam perkembangan tasyri’ Islam. Pada masa ini sumber tasyri’ Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang disebut dengan nash atau naql,apabila ada masalah yang tidak jelas dalam nash,para sahabat pada zaman Khulafa’ur-Rasyidin,memakai ijtihad dengan berpegang kepada ma’quul an-nash dan mengeluarkan ‘illah atau hikmah yang dimaksud dari nash itu,kemudian menerapkan pada semua masalah yang sesuai dengan ‘illahnya dengan ‘illah pada yang dinash untuk mendapatkan hukum yang dicari,yang disebut dengan al-qiyaas,jika hukum yang dicari tidak ada nashnya,maka para sahabat bermusyawarah,yang disebut dengan al-ijmaa’. Para Ulama’ menyebutkan bahwa dari praktek khulafa’ur-Rasyidin itu terdapat perluasan dasar tasyri’ Islam disamping Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat juga Al-Qiyaas dan Al-Ijmaa’.

[Read More...] - SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH PADA MASA (KHULAFA RASYIDIN)

Arti Sebuah Kegagalan

Dalam hidup,terkadang kita lebih banyak mendapatkan apa yang tidak kita inginkan. Dan ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, akhirnya kita tahu bahwa yang kita inginkan terkadang tidak dapat membuat hidup kita menjadi lebih bahagia
Bagi banyak orang kegagalan adalah sesuatu yang buruk. Apakah betul begitu? Untuk pikiran yang dangkal, hal itu memang betul. Namun apabila kita memikirkannya lebih dalam lagi, kegagalan tidak selamanya merupakan bencana. Bisa jadi, dengan kegagalan Tuhan mengingatkan kita bahwa kapasitas kita belum cukup untuk menerima kesuksesan. Barangkali Tuhan menunjukkan kepada kita bahwa masih banyak hal yang harus kita pelajari, yang mana kalau kita sukses padahal kemampuan kita masih dangkal, kita akan terjatuh lebih dalam lagi. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang ahli investasi dari Amerika bahwa ‘orang bodoh dengan uang banyak adalah suatu fenomena yang sangat menarik’. Apakah yang akan terjadi bila orang bodoh tiba-tiba mendapatkan uang banyak? Jelas, dia akan menghabiskannya tanpa perhitungan hanya untuk barang-barang konsumtif dan kembali mengalami kesulitan keuangan karena kemungkinan besar barang-barang konsumtif tersebut akan dia beli dengan cara kredit. Apakah dia pantas disebut orang kaya? Jelas tidak, orang yang betul-betul kaya tahu betul apa yang akan dia perbuat dengan uangnya dan akan mengembangkannya lebih banyak lagi.

Poin utamanya adalah kesuksesan yang kita terima akan selalu sesuai dengan kapasitas diri kita. Jika kita menerima kesuksesan di luar kapasitas diri, malah kita akan jatuh lebih dalam dan gagal lebih parah. Maka dari itu, jangan terlalu mendramatisir kegagalan. Bisa jadi dengan kegagalan Tuhan menyelamatkan kita dari kegagalan yang lebih parah. Yang perlu kita fokuskan adalah bagaimana caranya agar kita bisa berkembang secara pribadi untuk layak menjadi orang yang betul-betul sukses sehingga kesuksesan kita bisa bertahan lama dan semakin berkembang.

[Read More...] - Arti Sebuah Kegagalan

13 Februari 2011

Penafsiran dan Fatwa pada Preode Khulafa al-Rasyidin

A. Kedudukan Fatwa Dan Hukum Islam

Perlu diketahui bahwa fatwa berpengaruh besar terhadap perkembangan hukum pada masa sahabat. Sebelum mengetahui pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum, terlebih dahulu kita perlu mengetahui beberapa persoalan penting yang dihadapi oleh para sahabat, diantaranya:
a. sahabat khawatir akan kehilangan Al-qur’an karena banyaknya sahabat yang hapal al-qur’an meninggal dunia dalam perang Yamamah .
b. sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah saw.
c..Sahabat khawatir umat islam akan menyimpang dari hukum islam.
d.    Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syari’at islam karena hal tersebut belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-qur’an dan sunnah
Dalam menghadapi kekhawatiran –kekhawatiran diatas, Abu Bakar, atas usul umar, mengumpulkan Al-qur’an berdasarkan bahan-bahan yang ada, yaitu hapalan dan catatan. Sahabat yang paling intens keterlibatannya dalam pengumpulan Al-qur’an adalah Zaid bin Tsabit karena beliau adalah sekretaris Nabi Muhammad saw.
Disamping berkenaan dengan al-qur’an, persoalan yang dihadapi saat itu juga berkenaan dengan sunnah. Persoalaannya muncul dari dua arah, dari umat islam itu sendiri dan dari kaum munafiq. Umat islam telah melakukan kesalahan dan perubahan dalam sunnah tanpa bermaksud mengubahnya karena lupa atau keliru dalam menerima atau menyampaikannya. Sedangkan orang-orang munafiq sengaja melakukan pendustaan dan kebathilan dalam sunnah dengan maksud merusak agama islam.
Tindakan yang dilakukan para sahabat dalam periwayatan hadis adalah “kehati-hatian” dalam meriwayatkannya.Abu Musa pernah dimintai bukti (saksi) dalam meriwayatkan hadis oleh Umar bin Khattab.Selain hati-hati,sahabat juga melakukan “cegahan” penulisan hadis kepada rekan-rekannya,karena dikhawatirkan akan bercampur
dengan Al-Qur’an.
Sahabat,terutama khalifah,adalah pengganti Nabi dalam memimpin negara dan agama.Karena itu,mereka sering dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang dalam Al-Qur’an dan Sunnah belum ada ketentuannya.
Di bawah ini adalah salah satu wasiat Umar r.a. kepada seorang qadli (hakim) pada zamannya,yaitu Syuraih.
a. Berpeganglah kepada Al-Qur’an dalam menyelesaikan kasus.
b. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an,hendaklah engkau berpegang kepada Sunnah.
c. Apabila tidak didapatkan ketentuannya dalam Sunnah,berijtihadlah.
Dari beberapa temuan diatas,dapat diketahui bahwa pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut :
Pertama, sahabat melakukan penelaahan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan suatu kasus.Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah,mereka melakukan ijtihad.
Kedua, sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi.

B. Sumber-sumber hukum islam pada zaman sahabat

Sumber atau dalil hukum islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-qur’an, As-Sunnah dan ijtihad. Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan suatu kasus hukum . hasil musyawarah sahabat disebut ijmak.

C. Sebab-Sebab Perbedaan Pandangan Para Sahabat Dalam Penetapan Hukum

Setelah Nabi Muhammad saw wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum. Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-qur’an setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh ahlul bait. Hanya mereka-menurut nash dari Nabi Muhammad saw- yang harus dirujuk dalam menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak memperoleh kesulitan dalam menghadapi terhentinya wahyu, karena setelah Nabi Muhammad saw wafat masih terdapat para pewarisnya yang terjaga dari kesalahan (ma’shum)dan mengetahui makna al-qur’an, baik dalam dataran eksoteris (luar) maupun esoteris (dalam). Kelompok ini kelak dikenal sebagai kelompok syi’ah.
Sedangkan menurut kelompok kedua, sebelum meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan dan tidak menunujuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al-qur’an dan Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah – masalah yang timbul. Mereka ini kelak akan dikenal sebagai kelompok Ahlu Sunnah atau Sunni.
Selain itu, sebab ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi tiga : Pertama ialah perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Al-qur’an, yaitu dalam Al-qur’an terdafat lafadl yang bermaknaganda (isytirak)), misalnya firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 228 yang artinya: “Yang diceraikan oleh suaminya hendaklah menuggu tiga kali quru “. Kata quru’ mengandung dua arti: al-haidl dan al-thuhur. Menurut Umar, kata quru’ artinya haidl sedangkan menurut Zaid ibn Tsabit adalah al-thuhur. Hukum yang ditentukan Al-Qur’an masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus, misalnya waktu Iddah bagi wanita yng di tinggal mati suaminya adala 4 bulan 10 hari ( al-Baqarah: 234) dan masa Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamildalah hingga melahirkan (al-Thalaq: 4 ). Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya apakah yang berlaku baginya iddah wafat atau iddah hamil. Menurut Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas berpendapat bahwa baginya adalah iddah yang terpanjang dari dua iddah tersebut, sedangkan menurut Abd ibn Mas’ud berpendapat bahwa baginya adalah Iddah Hamil sebab ayat iddah hamil diturunkan setelah iddah wafat.
Adapun sebab perbedaan pandangan yang berhubungan dangan Sunnah adalah sebagai berikut :
a.    tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah. Diantara mereka ada penguasaan Sunnahnya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal ini terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai Nabi Muhammad saw; ada yang intensif dan ada yang tidak; ada yang lebih awal masuk islam dan ada pula yang paling akhir.
b.    Kadang – kadang riwayat telah sampai kepada seorang sahabat tetapi belum sampai kepada sahabat yang lain. Sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’yukarena ketidaktahuan meraka terhadap sunnah. Umpamanya Abu Hurairah berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, kemudian pendapat ini didengar oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya. ‘Aisyah menjadikan dengan Nabi saw sebagai alasan. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
c.    Sahbat berbeda pendapat dalam menakwilkan Sunnah. Umpamanya, tawaf. Sebagian besar sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam thwaf adalah sunnah, sedangkan menurut ibn Abbas malah sebaliknya.
Adapun perbedaan pendapat dikalangan sahabt yang disebkan oleh penggunaan ra’yu diantaranya perbedaan pendapat antara ‘Umar dan ‘Ali tentang perempuan yang nikah dalam waktutungunya. Menurut ‘Umar, “perempuan yang nikah dalam waktu tungu apabila belum dukhul harus dipisah; ia harus menyelesaikan waktu tunggunya, apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisah dan menyelesaikan dua waktu tunggu, waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya. Sedangkan menurut ‘Ali perempuan itu hanya diwajibkan menyelesaikan waktu tunggu yang pertama. ‘Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan ‘Umar berpegang pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak lagi melakuakn pelanggaran.

KESIMPULAN

1.    Ciri-ciri dari masyarakat Arab pra islam ialah-menganut faham kesukuan (qabilah),-memeiliki tata sosial pilitik tertutup dengan partisipasi warga yang sedikit, faktor keturunan lebih penting dari kemampuan,-mengenal hererki sosial yang kuat,-kedudukan perempuan cenderung direndahkan,-hukum yang mereka gunakan adalah hukum adat mereka sendiri.
2.    hukum islam pada fase Mekkah dan Madinah, dimana pada fase Mekkah Nabi Muhammad saw hanya lebih menitik beratkan pada hkum masalah akidah, sedangkan pada fase Madinah barulah diterapkan hukum pergaulan atau kemasyarakatan dan ibadah.
3.    pengaruh fatwa pada perkembangan hukum islam pada masa sahabat adala pertama mereka melakukan penalaahan terhadap Al-qur’an dan Sunnahdalam menyelesaikam suatu kasus hukum, apabila tidak ada mereka berijtihad. Kedua shabat telah menentukan thuruk al-istimbath dalam menyelesaikan kasus hukum yang dihadapi.
4.    sumber-sumber hukum islam pada masa shabat adalah Al-qur’an, As-sunnah, dan Ijtihad.
5.    sebab perbedaan pandangan para sahabat adalah pertama mengenai tampuk kepemimipinan setelah Nabi Muhammd saw wafat. Kedua perbedaan mereka dalam memahami Al-qur’an, As-Sunnah, da Ra’yu.

[Read More...] - Penafsiran dan Fatwa pada Preode Khulafa al-Rasyidin

12 Februari 2011

Ilmu Al–jarh Wa At–ta’dil

A.    Pengertian Ilmu Al-jarh wa At-ta’adul

  Kalimay al-jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian yang terdiri dari dua kata, yaitu al-jarh dan al-adl. Al jarh secara bahasa merupakan bentuk masdhar dari kata جرح – يجرح  yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang di tandai dengan mengalirnya darah dari luka itu’.  Secara terminology al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yanga mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atu bertolak riwayatnya. Adapun at-tajrih menyifati seorang perawi dengan sifat sifat yang membawa konskuensi penilain lemah ats riwayatnya atau tidak diterima.
Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara terminologi al-adl adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.

B.    Manfaat Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil

Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkam apakah periwayatan seoramg rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak ,akan muncul penilain bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW, sampai dibukukan mengakami perjalanan yang begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu.
Jika tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat kita akan mencampuradukan antara hadis yang benar-benar dari rosullullah dan hadis yang palsu (maudhu’). Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bias menyeleksi mana hadis sahih, hasan ataupun hadis dhoif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya
.
C.    Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan Masalah-Masalahnya.

Keadilan seorang perawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan.
Pertama, dengan kepopuleran dikalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah).
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh;
a.    Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
b.    Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, bai laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu;
a.    Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b.    Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin, sedangkan menurut para fuqoha, sekurang-kurangnya harus di tajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

D.    Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Menta’dil-kan Dan Men-tajrih-kan.

Ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan(fajrih), yaitu;
1.    Berilmu pengetahuan
2.    Takwa.
3.    Wara’
4.    Jujur
5.    Menjauhi fanatic golongan
6.    Mengetahui sebab-sebab men-ta’dilkan dan men-tajrih-kan.
E.    Pertentangan Antara Al-jarh dan At-ta’dil.


[Read More...] - Ilmu Al–jarh Wa At–ta’dil

11 Februari 2011

Filsafat

Pengertian Etimologis Filsafat

•    Kata Filsafat dari philosophia (Yunani), yg terbentuk dari kata philos (cinta/ingin) dan sophia (kearifan), scr etimologis, berarti: cinta kearifan

•    Cakupan pengertian sophia : kearifan, kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat, kepandaian pengrajin, serta kecerdikan memutuskan soal-soal praktis.

The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogya: Liberty, 2007),Cet.VII, h.29
•    Pengertian Filsafat scr etimologis, belum memberikan pengertian ttg apa yang dimaksud dengan definisi Filsafat, krn cakupan makna kata sophia sangat luas.  (Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 8-9)

•    Karena itu, dibutuhkan definisi filsafat dari segi terminologi:

Pengertian Terminologis Filsafat
•    Tentang pengertian filsafat, terdapat definisi yang beragam.
•    Setelah menyebutkan setidaknya sebanyak 40 pengertian Filsafat menurut para filosof, The Liang Gie menegaskan bhw:
    “Agaknya semua perumusan itu sama benarnya krn masing2 melihat dr salah satu pokok soal, permasalahan, titik berat, segi, tujuan atau metode yg dianut seseorang filsuf atau sesuatu aliran filsafat” (The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogya: Liberty, 2007),Cet.VII, h.56)

Pengertian Terminologis Filsafat:

•    Filsafat adalah “sejenis pengetahuan yg menyelidiki segala sesuatu dgn mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia shg dpt menghasilkan pengetahuan ttg bagaimana hekekatnya sejauh yg dpt dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu” (Hasbullah Bakry, sbgmn dikutip Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 9)
 
Ciri-Ciri Berfikir Filsafati

•    Rasional-kritis;
•    Radikal (mendasar);
•    Menyeluruh (komprehensif);
•    Spekulatif;
•    Sistematis;

Cabang-cabang Filsafat
1    . METAFISIKA / ONTOLOGI
2    . EPISTEMOLOGI
3    . AKSIOLOGI

[Read More...] - Filsafat

Kunci Hidup Sukses

"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu..." (Q. S Ali Imran (3) : 160)

Bagaimana kita memahami pengertian hidup sukses? Dari mana harus memulainya ketika kita ingin segera diperjuangkan?

Tampaknya tidak terlalu salah bila ada orang yang telah berhasil menempuh jenjang pendidikan tinggi, bahkan lulusan luar negeri, lalu menganggap dirinya orang sukses. Mungkin juga seseorang yang gagal dalam menempuh jalur pendidikan formal belasan tahun lalu, tetapi saat ini berani menepuk dada karena yakin bahwa dirinya telah mencapai sukses. Mengapa demikian? Karena, ia telah memilih dunia wirausaha, lalu berusaha keras tanpa mengenal lelah, sehingga mewujudlah segala buah jerih payahnya itu dalam belasan perusahaan besar yang menguntungkan.

Seorang ayah dihari tuanya tersenyum puas karena telah berhasil mengayuh bahtera rumah tangga yang tentram dan bahagia, sementara anak anaknya telah ia antar ke gerbang cakrawala keberhasilan hidup yang mandiri. Seorang kiai atau mubaligh juga berusaha mensyukuri kesuksesan hidupnya ketika jutaan umat telah menjadi jamaahnya yang setia dan telah menjadikannya sebagai panutan, sementara pesantrennya selalu dipenuh sesaki ribuan santri.

Pendek kata, adalah hak setiap orang untuk menentukan sendiri dari sudut pandang mana ia melihat kesuksesan hidup. Akan tetapi, dari sudut pandang manakah seyogyanya seorang muslim dapat menilik dirinya sebagai orang yang telah meraih hidup sukses dalam urusan dunianya?

Membangun Fondasi
Kalau kita hendak membangun rumah, maka yang perlu terlebih dahulu dibuat dan diperkokoh adalah fondasinya. Karena, fondasi yang tidak kuat sudah dapat dipastikan akan membuat bangunan cepat ambruk kendati dinding dan atapnya dibuat sekuat dan sebagus apapun.

Sering terjadi menimpa sebuah perusahaan, misalnya yang asalnya memiliki kinerja yang baik, sehingga maju pesat, tetapi ternyata ditengah jalan rontok. Padahal, perusahaan tersebut tinggal satu dua langkah lagi menjelang sukses. Mengapa bisa demikian? ternyata faktor penyebabnya adalah karena didalamnya merajalela ketidakjujuran, penipuan, intrik dan aneka kezhaliman lainnya.

Tak jarang pula terjadi sebuah keluarga tampak berhasil membina rumah tangga dan berkecukupan dalam hal materi. Sang suami sukses meniti karir dikantornya, sang isteri pandai bergaul ditengah masyarakat, sementara anak-anaknya pun berhasil menempuh jenjang studi hingga ke perguruan tinggi, bahkan yang sudah bekerjapun beroleh posisi yang bagus. Namun apa yang terjadi kemudian?

Suatu ketika hancurlah keutuhan rumah tangganya itu karena beberapa faktor yang mungkin mental mereka tidak sempat dipersiapkan sejak sebelumnya untuk menghadapinya. Suami menjadi lupa diri karena harta, gelar, pangkat dan kedudukannya, sehingga tergelincir mengabaikan kesetiaannya kepada keluarga. Isteripun menjadi lupa akan posisinya sendiri, terjebak dalam prasangka, mudah iri terhadap sesamanya dan bahkan menjadi pendorong suami dalam berbagai perilaku licik dan curang. Anak-anakpun tidak lagi menemukan ketenangan karena sehari-hari menonton keteladanan yang buruk dan
menyantap harta yang tidak berkah.

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk merintis sesuatu secara baik? Alangkah indah dan mengesankan kalau kita meyakini satu hal, bahwa tiada kesuksesan yang sesungguhnya, kecuali kalau Allah Azza wa Jalla menolong segala urusan kita. Dengan kata lain apabila kita merindukan dapat meraih tangga kesuksesan, maka segala aspek yang berkaitan dengan dimensi sukses itu sendiri harus disandarkan pada satu prinsip, yakni sukses dengan dan karena pertolongan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan fondasi yang tidak bisa tidak harus diperkokoh sebelum kita membangun dan menegakkan mernara gading kesuksesan.

Sunnatullah dan Inayatullah
Terjadinya sesoang bisa mencapai sukses atau terhindar dari sesuatu yang tidak diharapkannya, ternyata amat bergantung pada dua hal yakni sunnatullah dan inayatullah. Sunatullah artinya sunnah-sunnah Allah yang mewujud berupa hukum alam yang terjadinya menghendaki proses sebab akibat, sehingga membuka peluang bagi perekayasaan oleh perbuatan manusia. Seorang mahasiswa ingin menyelesaikan studinya tepat waktu dan dengan predikat memuaskan. Keinginan itu bisa tercapai apabila ia bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam belajarnya, mempersiapkan fisik dan pikirannya dengan sebaik-
baiknya, lalu meningkatkan kuantitas dan kualitas belajarnya sedemikian rupa, sehingga melebihi kadar dan cara belajar yang dilakukan rekan-rekannya. Dalam konteks sunnatullah, sangat mungkin ia bisa meraih apa yang dicita-citakannya itu.

Akan tetapi, ada bis yang terjatuh ke jurang dan menewaskan seluruh penumpangnya, tetapi seorang bayi selamat tanpa sedikitpun terluka. Seorang anak kecil yang terjatuh dari gedung lantai ketujuh ternyata tidak apa-apa, padahal secara logika terjatuh dari lantai dua saja ia bisa tewas. Sebaliknya, mahasiswa yang telah bersungguh-sungguh berikhtiar tadi, bisa saja gagal total hanya karena Allah menakdirkan ia sakit parah menjelang masa ujian akhir studinya, misalnya. Segala yang mustahil menurut akal manusia sama sekali tidak ada yang mustahil bila inayatullah atau pertolongan Allah telah turun.

Demikian pula kalau kita berbisnis hanya mengandalkan ikhtiar akal dan kemampuan saja, maka sangat mungkin akan beroleh sukses karena toh telah menetapi prasyarat sunnatullah. Akan tetapi, bukankah rencana manusia tidak mesti selalu sama dengan rencana Allah. Dan adakah manusia yang mengetahui persis apa yang menjadi rencana Nya atas manusia? Boleh saja kita berjuang habis-habisan karena dengan begitu orang kafirpun toh beroleh kesuksesan. Akan tetapi, kalau ternyata Dia menghendaki lain lantas kita mau apa? mau kecewa? kecewa sama sekali tidak mengubah apapun. Lagipula, kecewa yang timbul dihati tiada lain karena kita amat menginginkan rencana Allah itu selalu sama dengan rencana kita. Padahal Dialah penentu segala kejadian karena hanya Dia yang Maha Mengetahui hikmah dibalik segala kejadian.

Rekayasa Diri
Apa kuncinya? Kuncinya adalah kalau kita menginginkan hidup sukses di dunia, maka janganlah hanya sibuk merekayasa diri dan keadaan dalam rangka ikhtiar dhahir semata, tetapi juga rekayasalah diri kita supaya menjadi orang yang layak ditolong oleh Allah. Ikhtiar dhahir akan menghadapkan kita pada dua pilihan, yakni tercapainya apa yang kita dambakan - karena faktor sunnatullah tadi - namun juga tidak mustahil akan berujung pada kegagalan kalau Allah menghendaki lain.

Lain halnya kalau ikhtiar dhahir itu diseiringkan dengan ikhtiar bathin. Mengawalinya dengan dasar niat yang benar dan ikhlas semata mata demi ibadah kepada Allah. Berikhtiar dengan cara yang benar, kesungguhan yang tinggi, ilmu yang tepat sesuai yang diperlukan, jujur, lurus, tidak suka menganiaya orang lain dan tidak mudah berputus asa.

Senantiasa menggantungkan harap hanya kepada Nya semata, seraya menepis sama sekali dari berharap kepada makhluk. Memohon dengan segenap hati kepada Nya agar bisa sekiranya apa-apa yang tengah diikhtiarkan itu bisa membawa maslahat bagi dirinya mapun bagi orang lain, kiranya Dia berkenan menolong memudahkan segala urusan kita. Dan tidak lupa menyerahkan sepenuhnya segala hasil akhir kepada Dia Dzat Maha Penentu segala kejadian.

Bila Allah sudah menolong, maka siapa yang bisa menghalangi pertolongan-Nya? Walaupun bergabung jin dan manusia untuk menghalangi pertolongan yang diturunkan Allah atas seorang hamba Nya sekali-kali tidak akan pernah terhalang karena Dia memang berkewajiban menolong hamba-hambaNya yang beriman.

"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah membiarkan kamu (tidak memberikan pertolongan) maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal" (QS Ali Imran (3) : 160).
Refrensi by Manajemen Qolbu - Aa Gym

[Read More...] - Kunci Hidup Sukses

Qiyas

BAB II
PEMBAHASAN

A Pengertian Qiyas

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda tergantung pada pendangan mereka terhadap kedudukan qiyas dan istinbath hukum. Dalam hal ini mereka, terbagi dalam dua golongan berukut ini.
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya menurut pandangan ke dua, qiyas merupakan ciptaan syar’i, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri ayau merupakan hujjah ilahiyah yang dibuat syar’i sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid ataupun tidak.
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut maka mereka memberikan definisi qiyas sebagai berikut:
1.    Shadr Asy-Syariat menyatakan bahwa qiyas adalah pemindahan hukum yang terdapat pada ashl dan furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa.
2.    Al-Human menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat diketahiu melalui pemahaman bahasa secara murni.
Sebenararnya masih banyak definisi lainya yang dibuat oleh para ulama, namun secara umum qiyas adalah suatu proses penyikapak kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash.dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illat nya.

B Operasi qiyas

Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa dan tidak cukup hanya dengan pemahaman makna lafazh saja. Selanjitnya, mujtahid mencari dan meneliti dan tidaklah illat tersebut kasus yang tidak ada nash nya. Apabila ternyata ada illat itu, fiqih menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan illat. Dengan demikian, yang dicari mujtahid disini adalah illat hukum yang terdapat pada nash (hukum pokok).
Selanjutnya, jika illat tersebut ternyata betul-betul terdapat kasus-kasus lain, yang tampak bagi mujtahid adalah bahwa ketentuan hukum pada kasus-kasus ini adalah satu, yaitu ketentuan hukum yang terdapat pada nash menjalar pada kasus lain yang tidak ada nash nya.
Rukun Qiyas
Dari pengertian nash yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur sebagi berikut:
1.    Ashl (pokok) suatu peristiwa yang sudah ada nash nya yang dijadikan tempat meng-qiyas kan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fukaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu tersebut juga maqis ilaih (yang dujadikan tempat meng-qiyaskan)mahmul alaih (tempat membandingkan) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan)
2.    Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash nya. Far’u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Itu juga disebut maqis (yang dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan)/
3.    Hukum ashl yaitu hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash.
4.    Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itu, ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.

C Qiyas sebagai sandaran ijma

Para ulama berbeda pendapat tentang qiyas apabila di jadikan dengan ijma’, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa qiyas itu tidak sah dijadikan dasar ijma itu qat’i sedangkan dalil qiyas adalah dzanni. Menurut kaidah yang qad’i itu tidak sah didasarkan pada yang dzannui.
Para ulama yang menyatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma, berargumen bahwa hal itutelah disesuaikan dengan pendapat sebagian besar ulama. Juga dikarenakan qiyas itu termasuk salah satu dalil syara’ lainya.
Para sahabat setelah wafatnya nabi besar Muhhammad Saw berbeda pendapat tentang siapa yang akan dijadikan dengan penggantinya sebagai khalifah. Kemudian mereka memilih abubakar assidhik karena mereka sakit keras. Rasulullah senantiasa mewakilkan abu bakar untuk menjadi imam shalat.

Kehujjahan qiyas dan para pendapat para ulama.
Telah terjadi perbedaan pendapat dalam berhujjah dengan qiyas, ada yang membolehkanya, ada yang melarangnya  diantara contoh adalah kifarat bagi yang berbuka puasa dengan senjata dibulan ramadhan.

 Kehujjahan qiyas dalam hukum dan perdebatan metode pengambilan hukum.
Masalah ini termasuk hal yang tidak boleh di kesampingkan dalam pembahasan qiyas. Dan tidak berarti bahwa untuk menghindari berhujjah dapat dilakikan dengan qiyas. Sebenarnya, para pembicara setiap menyampaikan hukum dengan metode qiyas harus menyebutkan pula orang yang tidak berhujjah dengan qiyas dan mengembalikan semua dalam hukum.
Dalam beberapa keadaan terjadi, dua kubu dalam penentuan hukum, yang berbeda dalam metode untuk mencapai ketetapan hukum tersebut. Orang-orang yang menganut adanya qiyas menetapkan hukum dengan qiyas. Sedangkan mereka yang tidak mengakui adanya qiyas ternyata menggunakan ketetapan hukum yang sama, tetapi dengan metode yang berbeda. Berikit ini akan di terangkan beberapa permasalahan untuk lebih memperjelas masalah tersebut.
Ibnu Hasm berkata” Mereka telahberhujjah dengan firman Allah AWT.
Mereka yang telah menuduh wanita-wanita yang sudah menikah (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka daralah mereka dengan 80 kali dera dan janganlah kamu terima persaksian mereka selamanya.
(Qs. An-Nur:4)
Nash tersebut menerangkan tentang hukum dera bagi mereka yang menuduh zina kepada wanita yang telah berkeluarga. Dan hukum tersebut diberikan juga kepada orang yang menuduh laki-laki berzina. Metode seperti ini adalah qiyas
Abu Muhammad berkata: kami mewajibkan untuk mendera penuduh laki-laki berzina sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah. Jika tidak terdapat nash yang jelas, maka kami tidak menetapkan melalui metode qiyas. Seandainya kami menggunakan metode qiyas pun maka hasilnya tidak sama dengan mereka. Dan dibawah ini kami terangkan bagaimana metode kami.

Firman Allah SWT. Dalam surat An-Nur ayat 4, tersebut adalah umum. Tidak bileh di takhsish kecuali harus dengan nash atau ijma’, mungkun maksut Allah adalah wanita-wanita yang sudah menikah atau laki-laki yang sudah menikah. Hal seperti itu tidaklah termasuk munkar dalam bahasa dimana Al-Qur’an diturunkan , Allah berfifman dalam surat An-Naba ayat 14.

Artinya: dan kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.
Yang dimaksut mu’shirat dalam ayat diatas adalah ashhab.
Maka maksut Al-Muhsonat dalam surat An-Nur tersebut furuj-furuj yang sudah menikah. Padahal kamu semua mengartikanya sebagai wanita yang sudah menikah. Dan kami memperkuat pendapat tersebut dengan dalil yang jelas.
Sesungguhnya furuj itu lebih umum daripada wanita. Dan dinaklumi bahwa furuj adalah alat penghubung antara seorang laki-laki dan perempuan, dengan menjelaskan firman Allah dalam surat Al-Muminun ayat 5-6.

Artinya: dan orang-orang yang menjaga kemaluanya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Pada ayat lain yaitu surat An-Nur ayat 31.
Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka..
Dengan ayat-ayat diatas sahlah bahwa ayat tersebut sebagai perintah untuk mendera laki-laki yang mukhsan dengan dalil-dalil Al-Qur’an
Dengan demikian, maka dapatlah dilihat bahwa hukuman mendera untuk orang-orang yang menuduh berzina kepada orang yang sudah menikah adalah melalui dua metode yang berbeda.

Perbedaan pendapat tentang illat dikalangan jumhur dan pengaruhnya.
Telah dibahas tentang perbedaan pendapat antara penerima dan penolala qiyas., yang telah menghasilkan beberapa faedah. Sekarang akan dibahas mengenai jumhur yang mengakui adanya qiyas dan ta’lil. Dikalangan jumhur sendiri, sebenarnya terjadi perbedaan pendapat yang cikup sangit dalam sebagian hukum. Perbedaan pendapat dikalangan mereka terutama berkaitan dengan illat, yang mempunyai faedah yang banyak. Dal itu telah menghasilkan perbedaan yang sangat besar dlam maalah furu. Mungkin juga perbedaan tersebut yang mendorong kepada penolak qiyas untuk tidak mengakui adanya qiyas sebagaimana telah dijelaskan diatas.


BAB III
PENUTUP

Bahwasanya qiyas merupakan persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat diketahiu melalui pemahaman bahasa secara murni.
Dan duga merupakan suatu proses penyikapak kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash.dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illat nya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Thufi, Al-Hambali, syar Mukhtashar Ar-Raudah.
Al-Murwiji Al-Iman Al-Lais, Jawahir Al-Madiyah.
Abdul Mujib, Al-Qoawaidu Al-Fiqhiyyah, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980.
Abu Zahra, ushul fiqh, Cairo:Dar Al-Fikr Al-Arobi,t.t.
Ali  Hasbullah, ushul At-Tasyiri Al-Islamikairo Dar Al-Ma arif 1976.

[Read More...] - Qiyas

Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Masyarakat Indonesia kini sedang berada dalam masa transformasi. Era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya. Euforia demokrasi sedang marak dalam masyarakat Indonesia. Di tengah euforia demokrasi ini lahirlah berbagai jenis pendapat, pandangan, konsep, yang tidak jarang yang satu bertentangan dengan yang lain, antara lain berbagai pandangan mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia yang dicita-citakan di masa depan.
Upaya untuk membangun suatu masyarakat, bukan perkerjaan yang mudah, karena sangat berkaiatan dengan persoalan budaya dan sikap hidup masyarakat. Diperlukan berbagai terobosan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan suatu paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru.
Era Reformasi dalam pemerintahan negara Indonesia memberikan angin segar bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, setelah sebelumnya pada masa orde baru program-program pendidikan yang ditargetkan telah gagal. Krisis ekonomi yang berlangsung sejak medio Juli 1997 telah mengubah konstelasi politik maupun ekonomi Nasional. Secara politik, Orde Baru berakhir dan digantikan oleh rezim yang menamakan diri sebagai “Reformasi Pembangunan” meskipun demikian sebagian besar roh Orde Reformasi masih tetap berasal dari rezim Orde Baru, tapi ada sedikit perubahan, berupa adanya kebebasan pers dan multi partai.
Kita memerlukan suatu perubahan paradigma dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia,
Mencermati realitas sosial pendidikan Islam pada kisaran terakhir ini, tampaknya banyak perubahan pengembangan pada institusi pendidikan Islam. Untuk melakukan pengembangan itu antara lain dengan melakukan sebuah refleksi pemikiran yang eksploratif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti berupa penelitian, seminar, ceramah ilmiah, simposium, lokakarya dan lain sebagainya dalam rangka menyongsong hari esok yang lebih baik dan menjanjikan.
Salah satu hasil yang mengembirakan bagi tranformasi pendidikan Islam di zaman orde reformasi adalah hasil amandemen ke-4 pasal 31 UUD 1945 dan diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas serta diberlakukannya PP. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, dengan demikian eksistensi pendidikan Islam semakin diakui dalam tatanan pendidikan nasional.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana kurikulum pendidikan Islam pada masa reformasi?
2.    Bagaimana institusi pendidikan Islam pada masa reformasi?
3.    Bagaimana kultur pendidikan Islam pada masa reformasi?


BAB II
PEMBAHASAN

1.    Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi

Sering terjadi jika suatu negara mengalami perubahan pemerintahan, politik pemerintahan itu mempengaruhi pula bidang pendidikan yang sering mengakibatkan terjadinya perubahan kurikulum yang berlaku. Sebagai contoh setelah Indonesia merdeka pra Orde Baru terjadi dua kali perubahan kurikulum, yang pertama dilakukan dengan dikeluarkannya retjcana pelajaran tahun 1947 yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada tahun 1952 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan dan diberinana rentjana Pelajaran terurai 1952. Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rentjana pendidikan tahun 1964, perubahan tersebut terjadi karena merasa perlunya peningkatan dan pengejaran segala ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam dan matematika.
Seiring dengan terjadinya perubahan politik dan bergantinya rezim Orde Baru dan terjadinya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyebabkan eksistensi Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dirasakan tidak lagi memadai dan tidak lagi sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dipandang perlu menyempurnakan UUSPN tersebut, dan pada tahun 2003 dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian lebih dikenal dengan UU SISDIKNAS.
Sesuai dengan tuntututan UU SISDIKNAS pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyebabkan kurikulum yang berlaku di sekolah adalah kurikulum yang sesuai dengan standar nasional pendidikan. Agar kurikulum yang digunakan di sekolah sesuai dengan standar Nasional pendidikan maka Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi yang di dalamnya memuat tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, standar kompetensi dan kompetensi dasar. Untuk sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Departemen Agama tidak ketinggalan Menteri Agamapun mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 2008 tentang standar kompetensi lulusan dan standar isi Pendidikan Agama Islam dan Bhasa Arab di Madrasah.
Perubahan dan perbaikan kurikulum itu wajar terjadi dan memang harus terjadi, karena kurikulum yang disajikan harus senantiasa sesuai dengan segala perubahan dan perkembangan yang terjadi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Subandijah (1993:3), bahwa : Apabila kurikulum itu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, maka kurikulum dalam kedudukannya harus memiliki sipat anticipatori,  bukan hanya sebagai reportorial. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus dapat meramalkan kejadian di masa yang akan datang, tidak hanya melaporkan keberhasilan peserta didik.
Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat 19 dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus mencerminkan kepada falsafah sebagai pandangan hidup suatu bangsa, karena ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa itu kelak, banyak ditentukan dan tergambarkan dalam kurikulum pendidikan bangsa tersebut.
Berkenaan dengan kurikulum pendidikan agama Islam, Shaleh (2006:90) mengemukakan ada beberapa ketentuan yang menjadi landasan pembentukan kurikulum pendidikan agama secara luas, yaitu:
1)    Asas
Muhammd al-Thoumy al-Syaibany, mengemukakan bahwa Asas-asas umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum pendidikan agama itu adalah sebagai berikut:
a.    Asas agama
Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus meletakkan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi akidah, ibadah, muamalah dan hubungan-hubungan yang berlaku di dalam masyarakat.

b.    Asas falsafah
Dasar filosofis memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pendangan hidup.
c.    Asas psikologi
Kurikulum pendidikan Islam disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui peserta didik.
d.    Asas sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakatnya.
e.    Asas tujuan
Pada tujuan pendidikan agama Islam baik SD, SMP, maupun SMA, secara redaksional sama. Yaitu subtansinya adalah bertujuan untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia dengan melalui pemberian pengetahuan dan pengalaman, sehingga setelah proses pendidikan berakhir, peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, berbangsa dan bernegara (Shaleh, 2006).
Lahirnya UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 boleh dikatakan sebagai awal lahirnya arah baru pendidikan Indonesia dimana kurikulum yang dibuat mengarah kepada pencapaian kompetensi siswa baik kompetensi Kognitif, Afektif, maupun Psikomotor.
Penyusunan kurikulum sebagaimana disebutkan dalam pasal 36 ayat 3 bahwa Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a.    Peningkatan Iman Dan Takwa;
b.    Peningkatan Akhlak Mulia;
c.    Peningkatan Potensi, Kecerdasan, Dan Minat Peserta Didik;
d.    Keragaman Potensi Daerah Dan Lingkungan;
e.    Tuntutan Pembangunan Daerah Dan Nasional;
f.    Tuntutan Dunia Kerja;
g.    Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni;
h.    Agama;
i.    Dinamika Perkembangan Global; Dan
j.    Persatuan Nasional Dan Nilai-Nilai Kebangsaan.
Selanjutnya, pada pasal 37 secara berturut-turut dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, dan untuk pendidikan dasar dan menengah masih diwajibkan materi lainnya (Soebahar, 2009).
Pada masa reformasi ini telah dikembangkan dua model kurikulum, yaitu kurikulum KBK pada tahun 2004 dan KTSP pada tahun 2006, Dalam KBK tahun 2004 untuk mata pelajaran PAI (kita ambil contoh di jenjang SMP), Standar Kompetensi yang disajikan sangat sederhana tapi cukup mendalam dan mencerminkan standar kompetensi pendidikan Islam yang menyeluruh sebagaimana berikut:
1.    Mengamalkan ajaran AL Qur’an /Hadits dalam kehidupan sehari-hari.
2.    Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari.
3.    Menerapkan akhlakul karimah (akhlaq mulia) dan menghindari akhlaq tercela dalam kehidupan sehari.
4.    Menerapkan syariah (hukum Islam) dalam kehidupan sehari-hari).
5.    Mengambil Manfaat dari Sejarah Perkembangan (peradaban) Islam dalam kehidupan sehari-hari.
 Kelima Standar Kompetensi di atas berlaku untuk semua tingkat dari kelas VII s.d Kelas IX dan masing-masing dari kelima standar kompetensi tersebut diuraikan lagi  menjadi beberapa kompetensi dasar yang memiliki cakupan materi yang cukup dalam dan luas.  Sebagai contoh untuk standar kompetensi dasar yang pertama di kelas VII diurai ke dalam lima kompetensi Dasar yaitu:
1.    Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat adduha
2.    Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat Al Adiyat
3.    Siswa mampu menerapkan hukum bacaan Alif lam syamsiyah dan Alif lam qamariyah
4.    Siswa mampu mempraktikan hukum bacaan Nun mati dan Tanwin dan mim mati
5.    Siswa mampu membaca, mengartikan, dan menyalin hadits tentang Rukun Islam.
Sementar dalam KBK tahun 2006 (KTSP), setandar kompetensi yang disajikan untuk mata pelajaran pendidikan Agama Islam adalah: sangat banyak tapi bobotnya amat dangkal, untuk kelas VII terdapat 14 SK, untuk kelas VIII terdapat 15 SK, dan untuk kelas IX terdapat 13 SK. Sebagai perbandingan berikut kami kemukakan kompetensi PAI kelas VII semester I.
1.    Menerapkan tata cara membaca Al-qur’an menurut tajwid, mulai dari cara membaca “Al”- Syamsiyah dan “Al”- Qomariyah sampai kepada menerapkan hukum bacaan mad dan waqaf.
2.    Meningkatkan pengenalan dan keyakinan terhadap aspek-aspek rukun iman mulai dari iman kepada Allah sampai kepada iman pada Qadha dan Qadar serta Asmaul Husna.
3.    Menjelaskan dan membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan tasawuh dan menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah.
4.    Menjelaskan tata cara mandi wajib dan shalat-shalat munfarid dan jamaah baik shalat wajib maupun shalat sunat.
5.    Memahami dan meneladani sejarah Nabi Muhammad dan para shahabat serta menceritakan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di nusantara.

2.    Instituai Pendidikan Islam pada masa reformasi
Kegiatan pendidikan selalu berlangsung di dalam suatu lingkungan. Dalam konteks pendidikan, lingkungan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar diri anak. Lingkungan dapat berupa hal-hal yang nyata, seperti tumbuhan, orang, keadaan, politik, kepercayaan dan upaya lain yang dilakukan manusia, termasuk di dalamnya adalah pendidikan.
Di dalam konteks pembangunan manusia seutuhnya, keluarga, sekolah dan masyarakat akan menjadi pusat-pusat kegiatan pendidikan yang akan menumbuhkan dan mengembangkan anak sebagai makhluk individu, sosial, susila dan religius. Dengan memperhatikan bahwa anak adalah individu yang berkembang, ia membutuhkan pertolongan dari orang yang telah dewasa, anak harus dapat berkembang secara bebas, tetapi terarah. Pendidikan harus dapat memberikan motivasi dalam mengaktifkan anak.
Menurut Daulay dalam bukunya “Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaharuan Penddikan Islam Di Indonesia”, perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia hingga saat sekarang ini telah melalui tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak kedatangan Islam ke idonesia sampai masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam awal abad ke dua puluh. Periode ini ditandai dengan pendidikan Islam yang terkonsentrasi di pesanren, dayah, surau atau masjid dengan titik fokus adalah ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Periode kedua, periode ini telah dimasuki oleh ide-ide pembaharuan pemikiran Islam pada awal abad ke dua puluh. Periode ini ditandai dengan lahirnya madrasah. Sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah memasukkan mata pelajaran umum kedalam program kurikulum pendidikan mereka, dan juga telah mengadopsi sistem pendidikan modern seperti metode, manajerial, klasikal dan lainsebagainya. Ketiga, pendidikan Islam telah terintegrasi kedalam sistem pendidikan Nasional sejak lahirnya undang-undang nomor 2 tahun 1989 dilanjutkan pula dengan undang-undang No. 20 tahun 2003.
Sejak Indonesia merdeka, perkembangan pendidikan Islam di Indonesia semakin memperlihatkan perkembangan yang signifikan. Pesantren, berkembang dari bentuk tradisional (salafi) berkembang kepada pesantren modern (khalafy). Pesantren bentuk kedua ini sekarang berkembang hampir diseluruh Indonesia. Kemodernan dapat dilihat dari tiga segi. Pertama, mata pelajaran telah seimbang antara materi ilmu-ilmu agama dengan materi ilmu-ilmu umum. Kedua, metode pengajaran telah bervariasi, tidak lagi semata-mata hanya memakai metode sorogan, wetonan dan hafalan. Ketiga, pendidikan agama Islam dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan.
Di dalam lembaga sekolah, Pada tahun 2003 pendidikan agama Islam dipertegas melalui undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 12, yang mana pada periode sebelumnya pendidikan agama Islam kurang diperdulikan.
Pendidikan Islam sebagai lembaga adalah diakuinya keberadaan pendidikan Islam sebagai lembaga formal, nonformal,  dan informal. Sebagai lembaga pendidikan formal diakui keberadaan madrasah yang setara dan sama dengan sekolah. Pendidikan Islam dalam pengertian institusi adalah institusi-institusi pendidikan Islam seperti: pondok pesantren, madrasah, sekolah umum berciri KeIslaman, dan sebagainya (Soebahar, 2009:16).
Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 dijelaskan mengenai ketentuan yang berkaitan dengan institusi pendidikan Islam. Sebagaimana termaktub pada pasal 15 dan pasal 30 ayat (3-4), dinyatakan bahwa:
1.    Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal (pasal 3).
2.    Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis (pasal 4).
Lembaga pendidikan formal dijelaskan secara berurut dalam pasal 17, 18, 19 dan 20 mencakup pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagaimana berikut:
Pasal 17
1)    Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
2)    Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 18
1)    Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
2)    Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
3)    Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 19
1)    Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
2)    Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Pasal 20
1)    Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, Institut, atau universitas.
2)    Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
3)    Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
Lembaga pendidikan Nonformal dijelaskan dalam pasal 26 ayat 4: satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Lembaga pendidikan informal dalam pasal 28 ayat 3: kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Pendidikan anak usia dini diterangkan dalam pasal 28 ayat 3: pendidikan anak usia dini pada jalur pendidika formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudhatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Ketentuan-ketentuan mengenai lembaga pendidikan Islam yang termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut selanjutnya dijelaskan dalam peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 Tentang Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.

3.    Kultur Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi
Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980) berpendapat tentang peradaban manusia, yaitu: (1) peradaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi informasi dan komunikasi. Perubahan terbesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat. Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigman yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman (Umiarso,  2010:177).
Reformasi merupakan istilah yang amat populer pada masa krisis dan menjadi kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup berbangsa dan bernegara di tanah air tercinta ini, termasuk reformasi dibidang pendidikan. Secara konstitusional ditetapkan bahwa negara Indonesia berdasarkan pada agama. Artinya, bahwa negara Indonesia melindungi dan menghargai kehidupan beragama dari seluruh warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global akan memasuki abad yang penuh dengan persaingan bebas. Oleh kerana itulah kecenderungan masa kini akan ditandai oleh ledakan pengetahuan dan ledakan informasi. Reformasi pendidikan merupakan hukum alam yang akan mencari jalannya sendiri, khususnya memasuki masa millennium ketiga yang mengglobal dan sangat ketat dengan persaingan. Dengan adanya sumber daya manusia yang unggul dalam penguasaan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, maka bangsa Indonesia akan dapat mengerakkan sektor- sektor industri secara efisien dan produktif serta mampu bersaing di pasar dunia..
Dalam konteks ke-Indonesiaan, sebagai salah satu desakan arus reformasi, perubahan paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi memberikan tantangan tersendiri bagi aspek kehidupan, tak terkecuali dunia kependidikan. Pada era globalisasi seperti ini, pendidikan harus melakukan reformasi dan inovasi dalam proses belajar mengajar secara terus menerus.
Oleh karena itu, dalam era globalisasi saat ini sektor pendidikan perlu difungsikan sebagai ujung tombak untuk mempersiapkan sumber daya manusia dan sumber daya bangsa agar memiliki unggulan kompetetif dalam berbangsa dan dan bernegara ditengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global. Maka keterkaitan antara proses pendidikan dan kehidupan politik dalam arti bahwa pendidikan tidak terlepas dari politik dan politik itu sendiri adalah pendidikan. Pendidikan adalah metode yang paling fundamental di dalam kemajuan sosial dan reformasi.
 Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma [paradigma shift] dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia, oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.
Arah perubahan paradigma pendidikan dari paradigma lama ke paradigma baru, terdapat berbagai aspek mendasar dari upaya perubahan tersebut, yaitu, Pertama, paradigma lama terlihat upaya pendidikan lebih cenderung pada : sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, karena pendidikan didisain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, serta teknologi perakitan. Peran pemerintah sangat dominan dalam kebijakan pendidikan, dan lemahnya peran institusi pendidikan dan institusi non-sekolah. Kedua, paradigma baru, orientasi pendidikan pada: disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan, pemberdayaan institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia usaha, lembaga-lembaga kerja, dan pelatihan, dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat nadani Indonesia.


BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan-pemaparan pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya:

1.    Lahirnya UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 merupakan awal lahirnya arah baru pendidikan Indonesia dimana kurikulum yang dibuat mengarah kepada pencapaian kompetensi siswa baik kompetensi Kognitif, Afektif, maupun Psikomotorik. Dengan dasar UU ini telah dikembangkan dua model kurikulum PAI, yaitu kurikulum PAI dalam KBK pada tahun 2004 dan kurikulum PAI dalam KTSP pada tahun 2006.
2.    Institusi pendidikan Islam pada masa ini sebagaimana diakui dalam UU No.20 tahun 2003 adalah meliputi lembaga formal, informal, dan non formal. Diantara institusi-institusi pendidikan Islam seperti: pondok pesantren, madrasah, diniyah, sekolah umum berciri KeIslaman, dan sebagainya.
3.    Pada era globalisasi seperti ini, pendidikan harus melakukan reformasi dan inovasi dalam proses belajar mengajar secara terus menerus. Kultur pendidikan Islam pada masa ini lebih berorientasi pada sistem  disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum.
 
Daftar Pustaka

Shaleh, Abdul Rachman, 2006, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Shaleh, Abdul Rachman, 2004, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.
Soebahar, Abd. Halim, 2002, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Soebahar, Abd. Halim, 2009, Matriks Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Umiarso, Haris Fathoni Makmur, 2010, Pendidikan Islam Dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern Membangun Pendidikan Islam Monokhotomik-Holistik, Jogjakarta: Ircisod.
Subandijah, 1993, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: Raja Gravindo Persada.

[Read More...] - Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi

Hakikat dan Tujuan Pendidikan

A.    Kedudukan Tujuan Pendidikan


Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Demikian pentingnya tujuan tersebut, sehingga banyak dijumpai kajian yang sungguh-sungguh di kalangan para ahli mengenai tujuan tersebut. Berbagai buku yang mengkaji masalah pendidikan Islam senantiasa berusaha merumuskan tujuan baik secara umum maupun secara khusus.
Dalam pada  itu Marimba (1962: 45-46) menyebutkan ada empat fungsi tujuan pendidikan antara lain:

1.    Tujuan berfungsi untuk mengakhiri usaha. Suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa. Selain itu usaha mengalami permulaan dan mengalami pula akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena suatu kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi usaha itu belum dapat dikatakan berakhir. Pada umumnya suatu usaha baru berakhir kalau tujuan akhir telah dicapai.
2.    Tujuan berfungsi mengarahkan usaha. Tanpa adanya antisipasi (pandangan ke depan) kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan secara efesien.
3.    Tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari satu segi tujuan itu membatasi ruang gerak usaha, namun dari segi lain tujuan tersebut dapat mempengaruhi dinamika usaha tersebut.
4.    Tujuan berfungsi memberi nilai (sifat) pada usaha itu. Ada usaha-usaha  yang tujuannya lebih luhur, lebih mulia, lebih luas daripada usaha-usaha lain. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rumusan setiap tujuan selalu disertai dengan nilai-nilai yang hendak diusahakan perwujudannya. Nilai-nilai ini tentu saja bermacam-macam sesuai dengan pandangan yang merumuskannya. Jika yang merumuskan tujuan tersebut orang muslim yang taat dan luas wawasan keislamannya, tentu saja akan dimasukkan nilai-nilai yang sejalan  dengan ajaran Islam yang dianutnya. Dengan demikian suatu rumusan tujuan pendidikan, harus memiliki muatan subyektifitas dari yang merumuskannya, walaupun subyektifitas ini tidak selamanya berkonotasi negatif.
Dalam hubungannya dengan  fungsi keempat tujuan pendidikan tersebut di atas, yakni sebagai pemberi nilai terhadap suatu kegiatan, Langgulung  (1980: 178) memandang bahwa tujuan pendidikan Islam harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama yaitu; fungsi spiritual yang berkaitan dengan aqidah dan iman; fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat manusia ke derajat yang lebih sempurna; dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain atau masyarakat, dimana masing-masing menyadari hak-hak dan tanggung jawabnya untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang. Uraian ini pada intinya menegaskan bahwa suatu rumusan tujuan pendidikan Islam, tidaklah bebas dibuat sekehendak yang menyusunnya, melainkan berpijak pada nilai-nilai yang digali dari ajaran Islam itu sendiri. Dengan cara demikian maka tujuan tersebut dapat memberi nilai terhadap kegiatan pendidikan.
Hubungan antara tujuan dan nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah nilai itu sendiri. Pendidikan mengandung pilihan bagi arah perkembangan murid-murid ke mana akan diarahkan, dan pengarahan itu sudah tentu berkaitan erat dengan nilai-nilai. Pilihan terhadap suatu tujuan mengandung unsur mengutamakan terhadap beberapa nilai atas yang lainnya. Nila-nilai yang dipilih sebagai pengarah dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina malalui pendidikan itu (Al syaibani 1979: 403). Dari berbagai uraian di atas, nampak bahwa tujuan pendidikan sangat penting untuk dirumuskan, sebelum kegiatan pendidikan dilaksanakan.

B.    Tujuan Pendidikan Islam

Untuk mengetahui tujuan pendidikan Islam, terlebih dahulu perlu diketahui berbagai pendapat para ahli, sehingga bisa diperoleh rumusan yang sebenarnya tentang tujuan Pendidikan Islam.
Imam Ghazali (dalam Sulaiman, 1986: 25-26), mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan manusia paripurna, baik di dunia maupun di akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan fadilah (keutamaan) melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadilah itu akan membawanya untuk dekat kepada Allah dan selanjutnya membahagiakan hidupnya di dunia dan akhirat.
Ahmad D. Marimba (1980 45-46), mengemukakan dua macam tujuan pendidikan, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir;
1.    Tujuan Sementara; adalah sasaran sementara yang harus dicapai oleh umat Islam yang melaksanakan pendidikan Islam. Tujuan sementara di sini, adalah tercapainya berbagai kemampuan seperti: kecakapan jasmani, pengetahuan membaca, menulis, pengetahuan ilmu-ilmu kemasyarakatan, kesusilaan, keagamaan, kedewasaan jasmani rohani dan sebagainya.
2.    Tujuan akhir pendidikan Islam adalah terwujudnya kepribadian muslim, yang seluruh aspeknya mencerminkan ajaran Islam. Adapun aspek-aspek kepribadian itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal, yaitu;
a.    Aspek jasmaniah, meliputi tingkah laku yang mudah nampak dari luar, misalnya: cara-cara berbicara, bertingkah laku dan sebagainya.
b.    Aspek kejiwaan, meliputi aspek-aspek yang tidak segera dapat dilihat dari luar, misalnya: cara berfikir, minat, cara pandang terhadap sesuatu dan sebagainya.
c.    Aspek kerohanian yang luhur, meliputi aspek-aspek kejiwaan yang lebih abstrak, yaitu filsafat hidup dan kepercayaan. Ini meliputi sistem nilai yang telah meresap di dalam kepribadian yang mengarahkan dan memberi corak seluruh kepribadian individu. Bagi orang yang beragamaa, aspek ini bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat.
M. Athiyah al Abrasyi (1974: 15), memandang bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam.  Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan umum pendidikan. Dengan demikian gambaran manusia yang ideal yang harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang sempurna akhlaknya. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana hadits beliau:

ﺍﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖﻷﺗﻤﻢ ﻣﻜﺎﺭﻡ ﺍﻷﺧﻼﻕ٠٭﴿ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ﴾٭

Artinya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnkan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Tujuan umum di atas kemudian dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus untuk:
1.    Pembinaan akhlak.
2.    Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat.
3.    Penguasaan ilmu.
4.    Ketrampilan bekerja dalam masyarakat.
Abdul Fatah Jalal (1988: 119-122), mengelompokkan tujuan pendidikan Islam ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yaitu menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah yang senantiasa mengagungkan dan membesarkan asma Allah SWT. dengan meneladani Rasulullah SAW. menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, gemar mempelajari segala yang bermanfaat baginya dalam merealisasikan tujuan yang telah digariskan oleh Allah.
Allah berfirman:

ﻴﺎﺍﻴﻬﺎﺍﻠﻣﺩ ﺜﺭ٠ﻗﻡ ﻔﺄﻧﺫ ﺭ٠ﻮﺭﺒﻙ ﻔﻛﺑﺭ٠ ٭﴿ﺍﻟﻤﺪ ﺛﺮ׃١ـ٣﴾٭   

Artinya:
“Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah. (QS. Al Muddatsir 1-3).

ﺍﻗﺮﺃ ﺒﺎﺴﻢ ﺮﺒﻚ ﺍﻠﺬﻱ ﺧﻠﻖ ٠ ﺧﻠﻖ ﺍﻹﻧﺴﺎﻦ ﻤﻦ ﻋﻠﻖ٠ ﺍﻗﺮﺃ ﻮﺮﺒﻚ ﺍﻷ ﻜﺮﻢ٠ﺍﻠﺬﻱ ﻋﻠﻢ ﺒﺎﻠﻗﻠﻢ٠ﻋﻠﻢ ﺍﻹ ﻧﺴﺎﻦ ﻣﺎ ﻠﻢ ﻳﻌﻠﻢ۰ ٭﴿ﺍﻟﻌﻠﻖ׃١ـ٥﴾٭             
Artinya:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, yang menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmu yang amat Pemurah, Yang mengajarkan manusia dengan pena. Yang mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).

ﻮﻣﺎﺧﻠﻗﺖ ﺍﻠﺠﻦ ﻮﺍﻹﻧﺲ ﺍﻻ ﻠﻴﻌﺒﺪﻮﻦ٠ ﻣﺎ ﺃ ﺮﻴﺩ ﻣﻧﻬﻢ ﻣﻦ ﺮﺰﻕ ﻮﻣﺎﺃﺮﻴﺩ ﺃﻦ ﻴﻃﻌﻣﻮﻦ٠ﺇﻦ ﺍﷲ ﻫﻭﺍﻠﺭﺰﺍﻕ ﺬ ﻭﺍﻠﻗﻭﺓ
ﺍﻠﻣﺘﻴﻦ٠٭﴿ﺍﻟﺬ ﺭﻳﺎﺕ ׃٥٦ ـ  ٥٨ ﴾٭
Artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sesdikit pun dari mereka, dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuasaan lagi sangat kokoh. (QS. Al Dzariyat: 56-58).

ﻮﻠﻗﺩ ﺒﻌﺛﻧﺎﻔﻰ ﻜﻞ ﺃﻤﺔ ﺮﺴﻭﻻ  ﺃﻥ ﺍﻋﺑﺩ ﻭﺍﺍﷲ ﻭﺍﺠﺘﻨﺑﻭ ﺍ ﺍﻠﻃﺎﻏﻭﺕ ﻔﻤﻧﻬﻢ ﻤﻦ ﻫﺪﻯ ﺍﷲ ﻮﻣﻧﻬﻢ ﻤﻦ ﺤﻗﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻠﻀﻠﻠﺔﻗﻠﻰ  ﻔﺴﻴﺮﻮﺍ ﻔﻰﺍﻻﺮﺾ ﻔﺎﻧﻇﺮﻮﺍ ﻜﻴﻒ ﻜﺎﻥ ﻋﺎﻗﺒﺔ ﺍﻠﻤﻜﺬ ﺒﻴﻥ  ٠٭﴿ﺍﻟﻨﺤﻞ׃ ٣٦﴾٭

Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Mengabdilah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di mukua bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan Rasul-rasul-Nya.”  (QS. Al Nahl: 36).
Demikianlah Allah SWT. Telah menciptakan seluruh manusia untuk beribadah kepadanya. Kemudian mengutus seluruh Rasul kepada mereka untuk mengajak mereka beribadah kepada Allah SWT.
Ringkasnya tujuan umum pendidikan adalah membina peserta didik agar menjadi hamba yang suka beribadah kepada Allah. Ibadah di sini tidak hanya terbatas pada menunaikan shalat, puasa di bulan Ramadan, mengeluarkan Zakat dan beribadah haji, tetapi mencakup segala amal, pikiran atau perasaan manusia yang kesemuanya dihadapkan kepada Allah. Ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan bahkan bagian apapun dari perilakunya dalam mengabdikan diri kepada Allah. Sedangkan tujuan kusus sebenarnya merupakan rincian dari tujuan umum sebgaiman telah disebutkan di atas.
Arifin (1991: 38-39) membedakan tujuan pendidikan dengan tujuan teoritik dan tujuan dalam proses;
1. Tujuan teoritik terdiri atas berbagai tingkat antara lain:
a.   Tujuan intermedier, tujuan akhir, tujuan insidental;
1)    Tujuan intermedier  yaitu tujuan yang merupakan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu.
2)    Tujuan insidental merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tujuan intermedier.
3)    Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakekatnya terealisasi dari cita-cita ajaran Islam, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin di dunia dan akhirat.
     b.   Di lihat dari segi pendekatan sistem instruksional dapat dibedakan menjadi:
1)    Tujuan instruksional khusus, diarahkan kepada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
2)    Tujuan instruksional umum, diarahkan kepada penguasaan atau pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis besarnya sebagai suatu kebulatan.
3)    Tujuan kurikuler, yaitu ditetapkan  untuk dicapai melalui garis-garis besar program pengajaran (GBPP) ditiap institusi pendidikan.
4)    Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai menurut program, pendidikan ditiap sekolah atau lembaga  pendidikan tertentu.
5)    Tujuan Nasional atau tujuan umum, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan dengan berbagai cara atau sistem, baik formal maupun non formal.
 2.  Tujuan dalam proses mencakup dua macam, yaitu:
a.    Tujuan keagamaan (al gardu al dieny), yaitu tujuan yang terisi penuh nilai rohaniah Islam dan berorientasi kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan ini difokuskan pada kebahagiaan hidup di akhirat. Tujuan ini difokuskan pada pembentukan pribadi muslim yang sanggup melaksanakan syariat Islam melalui proses pendidikan spiritual menuju ma’rifat kepada Allah. Ayat Al-Qur’an berikut ini dijadikan tumpuan cita-cita hidup.

ﻫﻮﺍﻟﺬﻱ ﺧﻌﻞ ﻟﻜﻢ ﺍﻷﺭﺽ ﺫ ﻟﻮﻻﻓﺎﻣﺸﻮﺍ ﻓﻰ ﻣﻨﺎﻛﺒﻬﺎ ﻭﻛﻠﻮﺍﻣﻦ ﺭﺯﻗﻪ ﻭ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻨﺸﻮﺭ٠٭﴿ﺍﻟﻤﻠﻚ׃ ١٥﴾٭
Artinya:
“Dia yang menjadikan bumi bagimu dengan mudah kamu jalani, sebab itu berjalanlah kamu pada beberapa penjurunya dan makanlah rejeki  Allah kepada-Nya tempat kembali.” (QS. Al Mulk: 15).
b.    Tujuan keduniaan (al gardu al dunyawi), yaitu tujuan yang lebih mengutamanak upaya untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan kemanfaatannya. Tujuan ini diarahkan kepada upaya memajukan manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dengan berlandaskan iman dan taqwa. Dengan demikian Islam tidak mengabaikan kehidupan dunia sebagai salah satu tujuan pendidikannya, sebagaimana firman Allah  sebagai berikut:

ﻔﺈﻧ ﺍ ﻗﻀﻴﺖ ﺍﻠﺼﻠﻭﺓ ﻔﺎﻧﺗﺜ ﺮﻭﺍﻔﻰﺍﻷﺮﺾ ﻭﺍﺒﺘﻐﻭﺍ ﻤﻦ ﻔﺿﻞ ﺍﷲ ﻭﺍﺬ ﻜﺮﻭﺍ ﺍﷲ  ﻜﺜـﻴﺮﺍ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮﻥ٠
                                                                                                             ٭﴿ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ׃  ١٠﴾٭
Artinya:
“Maka apabila telah selesai mengerjakan shalat hendaklah kamu bertebaran di muka bumi ini dan carilah karunia Allah dan ingatlah akan Allah sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kamu memperoleh   kemenangan .”  (QS. Al Jum’ah: 10).
Hasil keputusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 sampai 11 Mei 1960 di Cipayung Bogor (dalam, Ihsan & Ihsan, 2001: 86) tujuan pendidikan Islam secara umum adalah menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia berkepribadian dan berbudi luhur menurut ajaran Islam.      
Jika ditinjau dari segi pembidangan tugas dan fungsi manusia secara filosofis, maka tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 macam,

1.    Tujuan Individual; yaitu suatu tujuan yang menyangkut individu, malalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
2.    Tujuan Sosial, adalah suatu tujuan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman, dan kemajuan hidupnya.
3.    Tujuan profesional, adalah suatu tujuan yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni, dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
Dalam proses kependidikan, ketiga tujuan di atas dicapai secara integral, tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia paripurna seperti yang dikehendaki oleh agama.
Bila ditinjau dari segi pelaksanaannya maka tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1.    Tujuan operasional, adalah suatu tujuan yang yang dicapai menurut program yang telah ditentukan/ditetapkan dalam kurikulum.
2.    Tujuan fungsional, yaitu tujuan yang tercapai dalam arti kegunaannya, baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis.
Dalam prakteknya adakalanya tujuan operasional sudah tercapai tetapi secara fungsional belum tercapai dikarenakan beberapa sebab. Misalnya produk kependidikan belum siap dipakai dilapangan karena masih memerlukan ketrampilan tentang bidang keahlian yang akan diterjuni. Dan sebaliknya tujuan fungsional bisa jadi telah tercapai walaupun secara operasional belum. Misalnya produk kependidikan telah mencapai keahlian teoritis ilmiah dan juga kemampuan/ketrampilan yang sesuai dengan bidangnya, tetapi secara administratif belum selesai. Oleh karena itu produk kepandidikan yang paripurna adalah bilamana dapat menghasilkan anak didik yang memiliki kemampuan teoritis dan sekaligus memiliki kemampuan praktis atau teknis operasional. Anak didik telah siap pakai dalam bidang keahlian yang dituntut oelh dunia kerja.
Dari berbagai pendapat para ahli pendidikan di atas, dapat disusun struktur perumusan tujuan pendidikan Islam yaitu:
1.    Tujuan umum, ialah tujuan yang ingin dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cra lain. Tujuan ini  mencakup seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, penampilan, tingkah laku, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda untuk setiap tingkat umur kecerdesan, situasi dalam kerangka yang sama. Bentuk isan kamil dengan  pola taqwa harus dapat tergambar pada pribadi seseorang yang sudah dididik walau pun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah, sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut.
2.    Tujuan akhir pendidikan adalah tujuan yang dicapai setelah berakhirnya kehidupan. Hal ini seiring dengan prinsip pendidikan seumur hidup dalam Islam. Adapun tujuan akhir pendidikan Islam adalah insan kamil yang mati dan menghadap Tuhannya dalam keadaan muslim. Tujuan akhir pendidikan Islam dapat difahami dalam ayat berikut ini:
   ﻴﺎﺍﻴﻬﺎ ﺍﻠﺬ ﻴﻦ ﺍﻤﻧﻮﺍ ﺍﺗﻗﻮﺍﺍﷲ ﺤﻖ ﺗﻗﺗﻪ ﻮﻻﺗﻤﻮﺗﻦ ﺍﻻﻮﺍﻧﺗﻢ ﻤﺴﻠﻤﻮﻦ۰ ٭﴿ﺍﻞﻋﻤﺮﺍﻦ׃ ١۰۲﴾٭
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali Imran: 102).
3.    Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.  Tujuan operasional dalam bentuk tujuan instruksional umum dan khusus (TIU dan TIK), dapat dianggap tujuan sementara dalam sifat yang agak berbeda.
4.    Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah pendidikan tertentu. Dalam pendidikan formal tujuan operasional ini disebut juga dengan tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi TIU dan TIK. Tujuan intruksional ini merupakan tujuan pengajaran yang direncanakan dalam unit-unit kegiatan pengajaran.

[Read More...] - Hakikat dan Tujuan Pendidikan